Sebenarnya saya suka ketempatan Pak De, tetapi istri saya sering mengancamnya
sebagai pria lajang yang ceroboh. “Lihatlah kamarnya, seperti kandang kuda!” Tentu
saja kuda-kuda sekarang sudah mengalami emansipasi sehingga kandangnya pun
bersih, itu pasti tidak diketahui istri saya yang bukan keturunan belantik kuda.
Pak De tidak terlalu mengganggu sebenarnya. Ia kita tempatkan di kamar atas, punya
jalan masuk sendiri. Ia juga orang terhormat, sebab ia mengajar di universitas. Tetapi
itu saja tidak cukup bagi istri saya. Orang juga harus hidup bersih, bersih di dalam itu
tidak cukup, orang juga harus bersih di luarnya.
Biarlah itu pendapat ibunya, tetapi anak-anak saya punya pendapat sendiri. Bagi
mereka, Pak De merupakan idola. Pak De saya suka pada anak-anak termasuk anakanak
saya. Ini juga menjadikannya cacat di depan pengadilan istri saya. “Hati-hati
dengan dia, jangan-jangan ia seorang...” istri saya memang tidak sampai hati
melanjutkan, tetapi sebagai seseorang yang berpengetahuan tahulah saya apa yang
dimaksud.
Ia memang suka membawa coklat untuk anak-anak, satu hal juga yang tidak disukai
ibunya. Pendek kata, tempatnya ialah surga bagi anak-anak, tempat anak-anak bermainmain,
sementara pada ibunya anak-anak hanya kenal disiplin.
Kesalahan Pak De, kalau itu dianggap kesalahan, ialah tidak pernah minta izin kami,
kalau akan memberikan apa-apa. Tetapi menurut saya, sebagai anggota keluarga ia
punya hak penuh. Juga tidak pernah terdengar ia mengaji, satu hal yang tidak disenangi
istri saya. “Itu tidak baik bagi pendidikan anak-anak,” katanya. Untunglah, ia berasal
dari pihak istri, jadi bisa saya tidak peduli.
Saya hanya tidak tahan pada suaranya. Kalau dikatakan bahwa sejelek-jelek suara ialah
suara khimar, barangkali suara Pak De lah contohnya. Tetapi apa boleh buat, itu bawaan
lahir. Mungkin latihannya adalah meneriaki orang dari seberang bulak. Kalau memberi
kuliah, dia akan ditempatkan di ruangan yang agak terbuka, sebab ia bisa bersaing
dengan mobil. Lagi pula, itu menguntungkan mahasiswa. Mahasiswa tidak usah berebut
untuk duduk dekat pintu, sebab kalau sedang marah, dan itu sering, seluruh penghuni
kebun binatang akan keluar. Mulai dari monyet yang tak berakal sampai unta yang
berkali-kali ke Mekah tapi tak pernah jadi haji, dari otak udang sampai air mata buaya.
Entah darimana ia belajar itu semua, seingat saya tidak terdapat dalam kamus. Kalau
sudah demikian mahasiswa yang tidak tahan akan berkali-kali ke belakang. Itu masih
untung baginya, tidak ada mahasiswa yang mati berdiri. Sayalah yang sering diminta
orang untuk melunakkannya, sementara para guru besar tidak sanggup. Alasannya
sederhana saja, sayalah satu-satunya keluarga.
Pernah sekali terjadi keributan di kelas akibat ulah Pak De dalam kelas. Ia tidak tahu
kalau dalam kelasnya ada seorang mahasiswa yang sudah dididik untuk memata-matai
para dosen. Nah, untuk menunjukkan kejengkelannya pada mahasiswa, ia kentut di
depan mahasiswa. Mahasiswanya tidak dapat menerima perlakuan itu, dan mereka tahu
persis tempat mengadu, yaitu pada Inspektur Jenderal Pendidikan.
Maka melayanglah inspektur itu...... ***
Untuk baca lebih lanjut, bisa klik di link DOWNLOAD