Jumat, 03 Juli 2015



Sebenarnya saya suka ketempatan Pak De, tetapi istri saya sering mengancamnya
sebagai pria lajang yang ceroboh. “Lihatlah kamarnya, seperti kandang kuda!” Tentu
saja kuda-kuda sekarang sudah mengalami emansipasi sehingga kandangnya pun
bersih, itu pasti tidak diketahui istri saya yang bukan keturunan belantik kuda.
Pak De tidak terlalu mengganggu sebenarnya. Ia kita tempatkan di kamar atas, punya
jalan masuk sendiri. Ia juga orang terhormat, sebab ia mengajar di universitas. Tetapi
itu saja tidak cukup bagi istri saya. Orang juga harus hidup bersih, bersih di dalam itu
tidak cukup, orang juga harus bersih di luarnya.
Biarlah itu pendapat ibunya, tetapi anak-anak saya punya pendapat sendiri. Bagi
mereka, Pak De merupakan idola. Pak De saya suka pada anak-anak termasuk anakanak
saya. Ini juga menjadikannya cacat di depan pengadilan istri saya. “Hati-hati
dengan dia, jangan-jangan ia seorang...” istri saya memang tidak sampai hati
melanjutkan, tetapi sebagai seseorang yang berpengetahuan tahulah saya apa yang
dimaksud.
Ia memang suka membawa coklat untuk anak-anak, satu hal juga yang tidak disukai
ibunya. Pendek kata, tempatnya ialah surga bagi anak-anak, tempat anak-anak bermainmain,
sementara pada ibunya anak-anak hanya kenal disiplin.
Kesalahan Pak De, kalau itu dianggap kesalahan, ialah tidak pernah minta izin kami,
kalau akan memberikan apa-apa. Tetapi menurut saya, sebagai anggota keluarga ia
punya hak penuh. Juga tidak pernah terdengar ia mengaji, satu hal yang tidak disenangi
istri saya. “Itu tidak baik bagi pendidikan anak-anak,” katanya. Untunglah, ia berasal
dari pihak istri, jadi bisa saya tidak peduli.
Saya hanya tidak tahan pada suaranya. Kalau dikatakan bahwa sejelek-jelek suara ialah
suara khimar, barangkali suara Pak De lah contohnya. Tetapi apa boleh buat, itu bawaan
lahir. Mungkin latihannya adalah meneriaki orang dari seberang bulak. Kalau memberi
kuliah, dia akan ditempatkan di ruangan yang agak terbuka, sebab ia bisa bersaing
dengan mobil. Lagi pula, itu menguntungkan mahasiswa. Mahasiswa tidak usah berebut
untuk duduk dekat pintu, sebab kalau sedang marah, dan itu sering, seluruh penghuni
kebun binatang akan keluar. Mulai dari monyet yang tak berakal sampai unta yang
berkali-kali ke Mekah tapi tak pernah jadi haji, dari otak udang sampai air mata buaya.
Entah darimana ia belajar itu semua, seingat saya tidak terdapat dalam kamus. Kalau
sudah demikian mahasiswa yang tidak tahan akan berkali-kali ke belakang. Itu masih
untung baginya, tidak ada mahasiswa yang mati berdiri. Sayalah yang sering diminta
orang untuk melunakkannya, sementara para guru besar tidak sanggup. Alasannya
sederhana saja, sayalah satu-satunya keluarga.
Pernah sekali terjadi keributan di kelas akibat ulah Pak De dalam kelas. Ia tidak tahu
kalau dalam kelasnya ada seorang mahasiswa yang sudah dididik untuk memata-matai
para dosen. Nah, untuk menunjukkan kejengkelannya pada mahasiswa, ia kentut di
depan mahasiswa. Mahasiswanya tidak dapat menerima perlakuan itu, dan mereka tahu
persis tempat mengadu, yaitu pada Inspektur Jenderal Pendidikan.
Maka melayanglah inspektur itu...... ***

Untuk baca lebih lanjut, bisa klik di link DOWNLOAD

Kamis, 02 Juli 2015


LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti.”
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw..
“Daulat, ya Tuhan.”
“Apalagi yang kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu, buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!”
“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah.”
“Lihat rumput-rumput jamrud di sana. Bunga-bunga mutiara bermekaran.”
“Kau memang mahakaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali.”
Tengok permadani sutra yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!”
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. la ingat, waktu sowan ke surga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.
“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”
“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.
“Tentang apa?”
“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”
“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”
“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.
“Bagaimana, ya Tuhan?”
“Umatmu banyak kena tusukan siar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”
“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”
“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”
“Dan yang mati?”
“Ada stempel Kalimat Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”
“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” dengan kening sedikit mengerut.
“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”
“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”
“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”
“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian –penuh kebapaan.
“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jedah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!”
“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom atom).
“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai Botes polisi-polisi dan hansip-hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”
“Tidak bisa mereka disogok?”
“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibril serta, supaya tak sesat!”
“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).
***

Untuk baca lebih lanjut, bisa klik di link DOWNLOAD
Design by @agungprasetian