Minggu, 14 Desember 2014

Tugas bukan berarti harus waswas
Bukan juga harus memelas
Pada diri yang mudah puas
Tetapi hati selalu berkata malas

Tugas bukan berarti penyakit ganas
Apalagi binatang buas
Yang suka menerkam keras
Disaat mangsanya tertidur pulas

Tugas hanya butuh kerja keras
Bukan keluhan begitu deras
Tetapi berapa banyak kau sisihkan waktu luas
Untuk masa depan yang berkualitas

Hidup memang penuh tugas
Begitupun tugas pada maha Welas
Yaitu beribadah dengan ikhlas

Tidak dengan hati yang culas

Kamis, 11 Desember 2014

Di sini kami tengah tertawa
di sana engkau tengah berduka
bak menahan perihnya tumpahan darah luka
yang membasahi sekujur tubuh mereka

di sini semua orang memperebutkan kekuasaan
di sana mereka memperjuangkan kemerdekaan
tanpa peduli kehilangan harta
tanpa peduli kehilangan orang tua

di sini anak kecil tertawa riang
di sana anak kecil dibunuh dan diserang
Sungguh, tanpa takut mereka menabung genderang perang
mungkin tidak ada jalan pulang
tapi harus rela nyawa melayang

wahai penguasa penunggu di mahligai
bukalah hati nuranimu
bukalah sejenak kalbumu
dari buaian kekuasaan kelabu

jika engkau punya hati
bantulah syuhada yang terancam mati
karena engkaupun akan mati
tapi sadarlah wahai pemanis janji!

mereka tidak butuh jualmu saat debat
mereka tidak butuh orasimu yang hebat
tapi, bantulah mereka dengan cepat
karena itulah Pemimpin yang TEPAT!


Kolaborasi
Bandung, 11 Juli 2014

Penulis : Rizal Sunandar
Penyunting : Agung Pratama Setiawan

Senin, 08 Desember 2014

Kau sambutlah tanganku
ikutlah rentak ini
tak perlu malu
kau dan aku sama
jalinkan hubungan yg mesra
aku di sini untuk bersamamu

biarkan mentari bahagia
bersinar kekal selamanya

iramaku untukmu
bak dicengkam kerinduan tak bertepi
biarlah serpihan rembulan ini berguguran di ribaanku
agar terang kelam malam,
yg baru saja kita lalui tadi
Detik yg tak pernah dirancangkan
bagaikan di alam mimpi
diterangi cahaya rindu

inikah tandanya
kumencinta

apakah kau juga merasakan?
kan kubelai cintamu

agar kita kekal ke akhirnya
Di sini kasih pernah berbunga
di sini cinta pernah membara
tiada harum tiada warna,
tanpa bahang dan apinya

aku tidak menjanjikan mahligai impian
di sini aku tiada terdaya
biarlah jauh dari pandangan
daripada dekat penuh siksa
Sisakan garam,
angin basah dan debur ombak dari bahagiamu, Cintaku
hatiku hanya laut yg tak mampu bersedih tanpamu.

Di antara gerimis dan tangis
aku pun mesti pergi
menyelinap disela hujan
menjelma tanah basah,

dan mengering pelan-pelan.
Aku hanya ingin




YANG PADA AKHIRNYA KAMU
Duhai maut,
di antara zuhrah bermarwah dan cuaca yg senantiasa berubah,
cintailah yg membuat kita ada,
dan tiada
Aku bumi,
terlentang,
menunggumu menghujaniku

kuikat kau dengan nadiku
aku berdiang di tubuhmu

aku ingin menulis,
di atas sungai yg meluap dari nadiku,
perihal merindukan

rindu ini akan menjelma kerinduan yg cantik
puisi-puisi tak selesai
bait-bait tak terungkap rahasianya
Mendung tak cukup lagi menggambarkan kesedihanmu
seperti pasir yg kau lempar ke danau, begitulah kesedihan dijatuhkan

tetapi,
akan kembali tenang setelah sampai dasar

kupetik mendung dilangit,
mengikat hujan ditubuhnya,
agar tak tumpah,
biar tak menjadi bah pada mata

Kamis, 27 November 2014


Pergilah

pergi dengan senyumanmu

aku benci.

rasa ini

hanya kau campakan saja

sendiri di Pelabuhan

menunggu

memohon

meronta ingin kembali padamu


Agung Pratama Setiawan

Jatinangor, 27 November 2014
Sutra itu membalut tubuhnya

menutupi setiap lerai rambutnya

Sungguh cantik
nan menarik
Siapa dia, Tuhan?

malaikat,

atau bidadari kah?

aku pun

jatuh cinta padanya


Agung Pratama Setiawan

Jatinangor, 27 November 2014

Bak kicau burung dipagi hari
kau bernyanyi
melantunkan deretan simfoni indah
merangkai kata demi kata
menjadi kalimat nan indah

wahai kicau burung
bernyanyilah untukku
untuk mengisi pelantaran kosong
dihati nan suci ini


Agung Pratama Setiawan

Jatinangor, 27 November 2014

Suatu sejuk menyusup hati

meronta hingga ke dalam dada

raga dalam diam terpaku dikesunyian

pertanda apakah ini?

sebuah rasa?

ataukah cinta?

entahlah...


Agung Pratama Setiawan

Jatinangor, 27 November 2014

Dermaga menunggu
datang dan pergi

Dia bertahan
bertahan digerus ombak
meronta di balik kedinginan

Salah
kau salah

Hanya mereka lah yg bisa setia

Bak bulan dan bumi
seperti bumi dan langit
langit dan Kuasa-Nya


Agung Pratama Setiawan

Jatinangor, 27 November 2014
Kamu sakit?
Tidak

Kamu sudah minum obat?
Sudah

Kutunggu kau di Nirwana


Agung Pratama Setiawan

Jatinangor, 27 November 2014

Selasa, 25 November 2014

Benarkah keriangan terbias hilang
adakah kau sama rasakan peritnya

Langit yg berbintang sendiri aku pandangi
terus diracau dirasuki rindu dia
ayam berkokok baru nak mengantuk

Andainya warkahku mengganggumu
maafkan aku
Syahdu malam berlagu sepi
mengiring lawan dalam taman hati

Cahayamu amat ku kagumi
menyinari malam yg kian menyepi

Bagai taman rindukan kembang
kurindu padamu sayang

Senin, 24 November 2014

Semaikanlah kasih sayangmu
semaikanlah cintamu itu

dengan benih kejujuran
dikala terluka

bak kahraman hidupku
beribu datang merayu
engkaulah yg satu sayangku
Takkan bergoyah kasih dan sayang
izinkanlah ku titiskan
airmata keresahanku
dicengkam kerinduan tak bertepi

bak bunga yg mekar wangi
biarlah serpihan rembulan itu
berguguran di ribaanku

biarpun terang kelam malam
rendakanlah cindai asmaramu

Bak sandiwara
inilah hidup di dalam dunia

kebencian menjadi cinta
airmata menjadi permata

sayu menikam di kalbu
pergimu bagai satu tanda

seperti mana aku bermula
inginku akhiri segala-galanya.
Kilauanmu bak mutiara
tak terpamir dibingkai kaca
walaupun hujan berderas
takkan tawar
lautan cintaku
Karam sudah
cinta seluas lautan

Hilang lenyap
kasih dalam pengabadian

Terlerai janji setia
musnahlah segalanya
jalinan rindu di kalbu
debu-debu rindu
Sinar mentari senja
mendung menyelubunyi lingkar jiwa

ketika fajar menyingsing
ku sentuh sinar kasih
dari matamu dekat dan terasing

sungguh lama kupendam kan
di bali pintu mahligai
Dahan nan kering usang
terpetik cinta sukunya

kita buang keruh yg melanda
kasih pasti jernih semula

segugus janji-janji
tergemak kau mungkiri

sesungguhnya kau percaya
kasihku tak berbelah lagi

Rabu, 19 November 2014

Kau yang terdiam
Kau yang bersuara

Sabarlah seluruh bangsaku
perih jiwamu
Tersisihkan oleh kalangan hitam

Bersuara untuk mereka
yang telah lama terdiam

Semua
Telah lelah menanti
Gemercik hujan membasahiku
Lambaian pohon pun memanggil
Tapi mengapa
Sang rembulan itu menjauh dariku
Menjauh dari nestapa kehidupan ini
Memecahkan serpihan kaca-kaca itu
Dari utuhnya
Alunan simfoni lagu ini

Selasa, 18 November 2014

Ada hujan menetes ke mata saya
seolah-olah lautan mungkin menemukan air mata .
Tapi kita tidak menangis ,
kita yang berjuang melalui setiap hari ,
mencoba untuk menemukan keindahan di saat ini .
Dan meskipun aku mungkin dibutakan oleh keabadian
Aku tahu Anda berada di sana
karena saya bisa merasakan detak jantung Anda
di bawah ujung jari saya .

Senin, 17 November 2014

aku mencintaimu
biarlah, ini urusanku
bagaimana kamu kepadaku?
terserah, itu urusanmu.
Ketika pohon melambaikan dedaunannya
ketika semilir angin berhembus
saat itu dia datang dengan senyumannya
dengan senyum manis
yang membuat setiap hariku ceria

dengan sikapnya yang polos

dengan tingkahnya yang lugu
dia yang akan mengisi kekosonganku setiap harinya

yang akan aku persunting dikemudian hari.
Jika kau tak mengerti aku
mungkin bukan karena bahasaku yang tak kau mengerti,

tapi telingamu
yang sengaja kau buat tuli,
hingga kau tak bisa
mendengarkanku lagi.
hey nyawa, diam sekejap
penatlah dari meratap

dia sudah pergi.
Dan jika
rinduku padamu
aku tumpahkan
kepada lautan,
akan sanggupkah
laut menampunnya?

Kamis, 13 November 2014



kemana harus kulangkahkan kaki ini
jika kau tak ada?
dimana harus kudatangi rumahmu


jika kau tak titipkan secarik alamat
kemana dan dimana?
tanyaku sebelum petang mengebiri nyawaku
Sini,
ya kamu kesini!
sekarang mendekatlah...
Beri saja sejengkal
Kini mataku, matamu
biar saja bertemu.
Biar aku tak perlu berkata sesuatu
bahwa aku cinta padamu.


aku hujankan puisi di segala waktu
saat kata kata merindu diriku
saat aku merindu mimpiku
aku hujankan puisiku
untukmu untukmu untukmu
yang memendam kata-kata rindu


Kekasihku, cahaya matamu seperti bulan redup
disungkup kabut. Ringkik kuda melepas isyarat
ke hening batu nisan. Aku di sisimu, dengan airmata


sedingin sisa embun di tangkai daun. Kekasihku,
apa yang kau cemaskan, saat tanganmu begitu lemah
menggenggam tanganku? Maut yang kelak datang
dari arah kaca jendela, atau anak-anak
yang bakal terlantar tanpa kasih-sayangmu?
Tidak, tidak ada yang perlu kau cemaskan
dengan semua itu. Sebab aku di sisimu
dengan segenap rindu, dengan nyala cinta
semurni kilau bintang pagi dalam ruang dan waktu
seligar cempaka. Kekasihku, jika maut
menyebut namamu, biarlah namaku lebih dulu
yang ditulisnya di tujuh lembar kain kafanmu.
Kain kafanmu


aku nantikan senyummu
yang biasa melambai padaku
dalam hening lingkar waktu
ketika hari memendam deru
siang terpancang beku
dan kotaku terjerat lesu


aku nantikan senyummu
yang terkembang sekilas lalu
membekukan sedetik waktu
membaca jarak dan kesangsian
rindu dan ragu bersimpangan
serupa kesetiaan dan pengingkaran
dan kau membuka ruang
sehanyut arus yang memanjang
sehitam malam bagi kerlip bintang
lalu kita sama terjengkang
bagai udang yang dilempar gelombang
lunglai di pantai mabuk kepayang
aku tak melupakan senyummu
seupa nada menganyam lagu
serupa hangat mengisi tungku
embun pun enggan segera lalul
di merah indah kembang sepatu
berbaring tenang di momen bisu
jadi aku menanti senyummu
di antara lalu kelebat waktu
bagai rayap mengeram di kayu


aku buka dewa, bukan malaikat, apalagi TUHAN
teriakkan namaku jika kau cinta
teriakkan namaku jika kau rindu


teriakkan namaku jika kau ingin
aku datang
buang namaku jika kau penat!
buang namaku jika kau bosan!
buang namaku jika kau lelah!
aku belai, bukan menghindar
Len, aku cinta padamu!
aku melihat matahari, berlari dan terbujur lemas terharu
ada kamu
aku ingin memandang wajahmu untuk waktu yang berabad abad
menikmati wajahmu yang termakan waktu
menelusurinya dengan hangat, membelainya
aku ingin menikmati zaman, sambil menggandengmu dengan erat
menikmati renyah suara tidurmu yang terbayang
aku ingin menatapmu sampai zaman telah lelah dengan sikap
berbagi cinta denganmu hingga tulang rusukku kedepan dan aku menginap di tanah merah
aku cinta padamu, Len!
aku terbang menuju cakrawala
nyawaku, nyawamu menjadi satu di dalam ruangan, disaat rutinitas menjadi obat nyamuk diantara kita
aku melihat dermaga
kilat air genit menyapaku
menggoda ku untuk bercinta dengan alam
ada kamu
aku jadi berharap
kamu menjadi harapan, dan kamu adalah makna
aku ingin membelaimu, lagi, dan lagi
merencanakan masa depan dan menimang sebuah kebahagiaan
cinta kita adalah senang dan duka
senang disaat kamu melayang melalang buana di kalbuku, kecupan manis tanpa batas, sentuhan peka jari remaja
duka disaat kita terpisah tak terjamah
cek cok dan ketegangan membuat kita dewasa
membuat kita semakin mendekat tanpa harus terikat
Len, aku melihat matahari dan berlari ke arah tubuhmu
seperti disaat kita berlari menuju bulan yang akan me-ninabobokan kita
seperti disaat kita tersenyum kepada matahari karena kau mendekat hangat untuk pagi kita, terima kasih
Design by @agungprasetian