Selasa, 24 Februari 2015

Karya Putu Wijaya, 2011


Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.


"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk.


"Betul Pak." Kami kaget.

"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"


"Ya."


Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.


Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.


"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"


Untuk baca lebih lanjutnya, bisa download di link DOWNLOAD

4 komentar:

  1. Wah ada sambungannya juga ternyata yang bisa di download ..

    BalasHapus
  2. Ceritanya menarik sekali untuk dibaca, thanks udah berbagi tulisan :D

    BalasHapus
  3. wehhhh ceriytanya mengesankan, terus ada sambungannya, wahh makasih gan saya mau lihat nih ga sabar

    BalasHapus
  4. bakat jadi penulis nih kayaknya

    BalasHapus

Design by @agungprasetian