Karya Satmoko Budi Santoso, 2014
KAKEK selalu mengenakan peci. Kapan pun, di mana pun. Peci kesayangannya
tak pernah lepas dari kepala. Bahkan hingga ia jatuh tertidur, peci itu bisa
saja nangkring menutupi wajahnya, hingga dapat menyaring suara ngorok yang
keluar dari mulutnya. Sebagai cucunya, sesekali saya iseng membuat kakek
kelimpungan. Satu-satunya peci miliknya, dan hanya seminggu sekali dicuci itu,
beberapa kali sengaja saya sembunyikan. Kalau sudah begitu, keributan akan
terjadi. Karena ada banyak cucu, merekalah yang kemudian menjadi sasaran
tuduhan.
“Saya ini kan sudah tua, mbok jangan suka main-main begitu. Kalau
kalian mau uang yang terselip di lipatan peci itu, ambillah secukupnya,” begitu
omelan kakek, dengan sasaran entah saya, entah cucu-cucu yang lain. Di antara
para cucu yang mendengar tentu hanya tertawa cekikikan. Jika kemudian tiba-tiba
peci itu saya munculkan tanpa sepengetahuan kakek, misalnya tiba-tiba sudah ada
di belakang tempat duduknya, maka kakek akan terlihat sangat riang. Serta-merta
ia akan memeriksa sejumlah uang yang terselip di lipatan peci itu. Selalu utuh.
Begitulah, jika pun saya sembunyikan, sama sekali saya tidak berniat untuk
mencuri uang di lipatan peci kakek.
Baik saya, orangtua saya, dan saudara-saudara penghuni rumah
lainnya tahu bahwa uang di lipatan peci kakek itu adalah uang saku yang
biasanya akan ia gunakan sebagai bekal untuk membeli rokok atau keperluan lain
sesuka hatinya. Itulah sebagian uang yang ia peroleh dari hasil sawah dan
ladang miliknya. Kalau pas hati kakek lapang, tentu saja ia tidak akan
melupakan cucu-cucunya, mereka akan diberi kakek uang jajan, yang diambil dari
lipatan pecinya.
Sepeninggal nenek, peci itu seakan-akan telah menjadi pengganti
istri kakek. Nilai perhatian kakek terhadap peci itu cukup berlebih.
***
Kini ayah saya yang menggantikan kebiasaan kakek. ( Untuk baca lebih lanjut, bisa download di link DOWNLOAD )
0 komentar:
Posting Komentar