Minggu, 22 Februari 2015

Karya Satmoko Budi Santoso, 2014

KAKEK selalu mengenakan peci. Kapan pun, di mana pun. Peci kesayangannya tak pernah lepas dari kepala. Bahkan hingga ia jatuh tertidur, peci itu bisa saja nangkring menutupi wajahnya, hingga dapat menyaring suara ngorok yang keluar dari mulutnya. Sebagai cucunya, sesekali saya iseng membuat kakek kelimpungan. Satu-satunya peci miliknya, dan hanya seminggu sekali dicuci itu, beberapa kali sengaja saya sembunyikan. Kalau sudah begitu, keributan akan terjadi. Karena ada banyak cucu, merekalah yang kemudian menjadi sasaran tuduhan.

“Saya ini kan sudah tua, mbok jangan suka main-main begitu. Kalau kalian mau uang yang terselip di lipatan peci itu, ambillah secukupnya,” begitu omelan kakek, dengan sasaran entah saya, entah cucu-cucu yang lain. Di antara para cucu yang mendengar tentu hanya tertawa cekikikan. Jika kemudian tiba-tiba peci itu saya munculkan tanpa sepengetahuan kakek, misalnya tiba-tiba sudah ada di belakang tempat duduknya, maka kakek akan terlihat sangat riang. Serta-merta ia akan memeriksa sejumlah uang yang terselip di lipatan peci itu. Selalu utuh. Begitulah, jika pun saya sembunyikan, sama sekali saya tidak berniat untuk mencuri uang di lipatan peci kakek.

Baik saya, orangtua saya, dan saudara-saudara penghuni rumah lainnya tahu bahwa uang di lipatan peci kakek itu adalah uang saku yang biasanya akan ia gunakan sebagai bekal untuk membeli rokok atau keperluan lain sesuka hatinya. Itulah sebagian uang yang ia peroleh dari hasil sawah dan ladang miliknya. Kalau pas hati kakek lapang, tentu saja ia tidak akan melupakan cucu-cucunya, mereka akan diberi kakek uang jajan, yang diambil dari lipatan pecinya.
Sepeninggal nenek, peci itu seakan-akan telah menjadi pengganti istri kakek. Nilai perhatian kakek terhadap peci itu cukup berlebih.
***
Kini ayah saya yang menggantikan kebiasaan kakek. ( Untuk baca lebih lanjut, bisa download di link DOWNLOAD )


0 komentar:

Posting Komentar

Design by @agungprasetian