Karya M. Iksaka Banu, 2012
DINI hari. Sisa ketegangan masih melekat di setiap sudut benteng, menghadirkan rasa sesak yang menekan dari segala arah. Sesekali aroma busuk air Kali Besar tercium, bergantian dengan bau barang terbakar. Ingin sekali aku berendam telanjang di dalam bak mandi setelah enam jam berteriak memberi komando serta melepaskan tembakan.
Para pemberontak Tionghoa itu bukan lawan sembarangan. Jumlah mereka besar, pandai bersiasat pula. Sejak pukul sembilan, mereka menggedor semua pintu masuk. Tetapi benteng Batavia tetaplah masih yang terkuat, asalkan seluruh pasukan memiliki disiplin tinggi, serta mampu menjaga keutuhan delapan belas meriam yang dipasang di seputar benteng. Sangat melegakan bahwa tengah malam tadi, mereka berhasil kami pukul mundur.
Kulepas pandangan ke sekeliling benteng sekali lagi: Di pintu besar selatan, para prajurit tampak terduduk letih setelah berhasil memadamkan tenda peleton yang terbakar hebat sejam yang lalu. Agak ke kanan, di kanal-kanal seputar benteng, sederet sampan berisi tiga atau lima musketier masih bersiaga sebagai lapis kedua bila gerbang bobol. Dan akhirnya, paling belakang, di antara atap rumah penduduk, terlihat siluet menara Balai Kota, bersisian dengan kubah gereja Niuwehollandsche, seakan berlomba memberi peneguhan bahwa kami masih berkuasa penuh atas kota ini. Ya, semua tampak beres. Aku bisa tidur sebentar. Tentunya setelah memenuhi panggilan atasanku, Kapten Jan Twijfels.
Aku tak pernah menyembunyikan kekagumanku pada Kapten Twijfels. Dua puluh tahun lalu, pada usia 18, ia sudah memperoleh bintang penghargaan karena tetap bertahan di pos meski luka parah dalam perang Sepanjang, melawan laskar gabungan Surabaya dan Bali. Soal moral, ia sepaham denganku: anti pergundikan. Istrinya orang Belanda. Diboyong ke Jawa bersama kedua anaknya yang masih kecil. Sebagai anggota dewan, suaranya juga cukup didengar.
BEGITU pintu tenda tersibak, terlihatlah sosoknya. Tinggi langsing, duduk tanpa wig menghadap sebuah meja yang sarat berkas laporan. Seragam militernya lusuh. Terlebih jabot putihnya yang tak lagi terkancing rapi. Di lantai, terserak pedang, pistol, serta kantung mesiu, seolah dilempar begitu saja dari bahu.
“Letnan Goedaerd,” Kapten Twijfels menyorongkan botol dan gelas pendek. “Seteguk arak Cina untuk kemenangan kita?” suaranya terdengar serak.
“Arak pada pukul satu pagi?” aku terkekeh sambil menarik kursi. “Hasil memeras, atau upeti dari Kapten Nie Hoe Kong lagi?”
“Apa bedanya?” Kapten Twijfels mengangkat bahu.” Minumlah. Selain cukup enak, topik yang sebentar lagi kubicarakan denganmu memerlukan ramuan penguat jiwa semacam ini.”
“Anda membuatku gelisah.” Kuisi seperempat bagian gelasku dengan arak. Kutandaskan sekali teguk. “Apakah ini tentang penduduk Tionghoa yang ada di dalam benteng, Kapten? Telah kami umumkan, bahwa sejak tadi pagi, 8 Oktober 1740, penduduk Tionghoa dilarang pergi ke luar benteng. Dan.
Untuk baca lebih lanjut, bisa download di link DOWNLOAD
DINI hari. Sisa ketegangan masih melekat di setiap sudut benteng, menghadirkan rasa sesak yang menekan dari segala arah. Sesekali aroma busuk air Kali Besar tercium, bergantian dengan bau barang terbakar. Ingin sekali aku berendam telanjang di dalam bak mandi setelah enam jam berteriak memberi komando serta melepaskan tembakan.
Para pemberontak Tionghoa itu bukan lawan sembarangan. Jumlah mereka besar, pandai bersiasat pula. Sejak pukul sembilan, mereka menggedor semua pintu masuk. Tetapi benteng Batavia tetaplah masih yang terkuat, asalkan seluruh pasukan memiliki disiplin tinggi, serta mampu menjaga keutuhan delapan belas meriam yang dipasang di seputar benteng. Sangat melegakan bahwa tengah malam tadi, mereka berhasil kami pukul mundur.
Kulepas pandangan ke sekeliling benteng sekali lagi: Di pintu besar selatan, para prajurit tampak terduduk letih setelah berhasil memadamkan tenda peleton yang terbakar hebat sejam yang lalu. Agak ke kanan, di kanal-kanal seputar benteng, sederet sampan berisi tiga atau lima musketier masih bersiaga sebagai lapis kedua bila gerbang bobol. Dan akhirnya, paling belakang, di antara atap rumah penduduk, terlihat siluet menara Balai Kota, bersisian dengan kubah gereja Niuwehollandsche, seakan berlomba memberi peneguhan bahwa kami masih berkuasa penuh atas kota ini. Ya, semua tampak beres. Aku bisa tidur sebentar. Tentunya setelah memenuhi panggilan atasanku, Kapten Jan Twijfels.
Aku tak pernah menyembunyikan kekagumanku pada Kapten Twijfels. Dua puluh tahun lalu, pada usia 18, ia sudah memperoleh bintang penghargaan karena tetap bertahan di pos meski luka parah dalam perang Sepanjang, melawan laskar gabungan Surabaya dan Bali. Soal moral, ia sepaham denganku: anti pergundikan. Istrinya orang Belanda. Diboyong ke Jawa bersama kedua anaknya yang masih kecil. Sebagai anggota dewan, suaranya juga cukup didengar.
BEGITU pintu tenda tersibak, terlihatlah sosoknya. Tinggi langsing, duduk tanpa wig menghadap sebuah meja yang sarat berkas laporan. Seragam militernya lusuh. Terlebih jabot putihnya yang tak lagi terkancing rapi. Di lantai, terserak pedang, pistol, serta kantung mesiu, seolah dilempar begitu saja dari bahu.
“Letnan Goedaerd,” Kapten Twijfels menyorongkan botol dan gelas pendek. “Seteguk arak Cina untuk kemenangan kita?” suaranya terdengar serak.
“Arak pada pukul satu pagi?” aku terkekeh sambil menarik kursi. “Hasil memeras, atau upeti dari Kapten Nie Hoe Kong lagi?”
“Apa bedanya?” Kapten Twijfels mengangkat bahu.” Minumlah. Selain cukup enak, topik yang sebentar lagi kubicarakan denganmu memerlukan ramuan penguat jiwa semacam ini.”
“Anda membuatku gelisah.” Kuisi seperempat bagian gelasku dengan arak. Kutandaskan sekali teguk. “Apakah ini tentang penduduk Tionghoa yang ada di dalam benteng, Kapten? Telah kami umumkan, bahwa sejak tadi pagi, 8 Oktober 1740, penduduk Tionghoa dilarang pergi ke luar benteng. Dan.
Untuk baca lebih lanjut, bisa download di link DOWNLOAD
UP :v ... kunjungi juga gan : http://www.battleblognews.co.vu/
BalasHapusCeritanya menarik untuk dibaca, makasih udah berbagi gan :)
BalasHapuswahh bagus juga gan saya terkesn gan :)
BalasHapusMantap... saya juga penulis novel gan... boleh jg ceritanya...
BalasHapuskeren banget ceritanya bro , ada cerita gak tentang seorang jomblo yg mencari penghasilan dari ngeblog ?
BalasHapusMau jadi narasumbernya gan? :v
Hapusmantap ni ceritanya gan... makasi ya ceritanya....
BalasHapusOke thanks udah mampir gan.
Hapuskunbal di : www.battleblognews.co.vu
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus