Minggu, 22 Februari 2015

1. Alur Cerpen Robohnya Surau Kami menggunakan alur mundur. Cerita ini diawali tentang deskripsi surau di suatu kampung. Kemudian dilanjutkan tentang Kakek si penjaga surau (garin). “Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.” Pada bagian awal, dituliskan bahwa Kakek telah meninggal dunia, lalu dikisahkan kembali sebab-sebab Kakek meninggal dunia. Dari pengisahan kembali ini dapat diambil kesimpulan bahwa cerpen Robohnya Surau Kami menggunakan alur mundur (sorot balik). “Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya…” “…Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.” Kalimat “Begilah kisahnya” semakin meyakinkan pembaca bahwa cerpen Robohnya Surau Kami menggunakan alur mundur.

 2. Tema Cerpen ini menggunakan tema sosial religi. Dibuktikan dengan tokoh Kakek yang taat pada agama namun tidak peka dengan keadaan sosial. Kakek terlalu sibuk berurusan dengan Tuhan, namun lupa bahwa dia hidup di lingkungan. Pengarang melalui Ajo Sidi yang mengisahkan Haji Saleh menyindir Sang Kakek. Hingga Kakek mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena merasa tersindir.
Karya A.A. Navis, 1955

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan
akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar/ akan sampailah Tuan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan nanti/ akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang
airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.//

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua/ yang biasanya duduk di sana dengan
segala tingkah ketuaannya/ dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya/ Kakek.//

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari
kolam itu. Dan sekali setahun/ orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi/ sebagai garin
ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya
sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya/ ialah ucapan terima kasih dan sedikit
senyum.//

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala
apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari.//

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu/ kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak
berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama/ ialah sifat
masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan biang
keladi dari kerobohan ini/ ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.

Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku
suka memberinya uang.

- Untuk baca lebih lanjut bisa download di link ini. DOWNLOAD

Sabtu, 14 Februari 2015

Merebahlah dalam puisiku. Di sana kau akan ditemani kata-kata, yang kurangkai dari patah hatiku; karena mencintaimu.

Minggu, 14 Desember 2014

Tugas bukan berarti harus waswas
Bukan juga harus memelas
Pada diri yang mudah puas
Tetapi hati selalu berkata malas

Tugas bukan berarti penyakit ganas
Apalagi binatang buas
Yang suka menerkam keras
Disaat mangsanya tertidur pulas

Tugas hanya butuh kerja keras
Bukan keluhan begitu deras
Tetapi berapa banyak kau sisihkan waktu luas
Untuk masa depan yang berkualitas

Hidup memang penuh tugas
Begitupun tugas pada maha Welas
Yaitu beribadah dengan ikhlas

Tidak dengan hati yang culas

Kamis, 11 Desember 2014

Di sini kami tengah tertawa
di sana engkau tengah berduka
bak menahan perihnya tumpahan darah luka
yang membasahi sekujur tubuh mereka

di sini semua orang memperebutkan kekuasaan
di sana mereka memperjuangkan kemerdekaan
tanpa peduli kehilangan harta
tanpa peduli kehilangan orang tua

di sini anak kecil tertawa riang
di sana anak kecil dibunuh dan diserang
Sungguh, tanpa takut mereka menabung genderang perang
mungkin tidak ada jalan pulang
tapi harus rela nyawa melayang

wahai penguasa penunggu di mahligai
bukalah hati nuranimu
bukalah sejenak kalbumu
dari buaian kekuasaan kelabu

jika engkau punya hati
bantulah syuhada yang terancam mati
karena engkaupun akan mati
tapi sadarlah wahai pemanis janji!

mereka tidak butuh jualmu saat debat
mereka tidak butuh orasimu yang hebat
tapi, bantulah mereka dengan cepat
karena itulah Pemimpin yang TEPAT!


Kolaborasi
Bandung, 11 Juli 2014

Penulis : Rizal Sunandar
Penyunting : Agung Pratama Setiawan
Design by @agungprasetian